‘Alī bin Abī Thālib (Arab: علي بن أﺑﻲ طالب, Persia: علی پسر ابو طالب)
(lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 – wafat 21 Ramadan 40
Hijriah/661), adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga
keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah
terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia
adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah
Muhammad SAW. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka
setuju memanggil Ali dengan sebutan Imam, sehingga Ali menjadi
satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali adalah sepupu dari
Rasulullah Muhammad SAW, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia
menjadi menantu Rasulullah Muhammad SAW.
nama Ali bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atau semoga
Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar
riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat
hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam
sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang
berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain
menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh
terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali enggan
meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abi Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu
hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau
bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atau
spiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah
keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki.
Seperti pada tarekat Qadiriyyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir
Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali melalui anaknya
Hasan bin Ali seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul
Qadir Jilani (karya Syekh Ja'far Barzanji) dan banyak kitab-kitab
lainnya.
Kelahiran
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah
Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun
sebelum dimulainya kenabian Muhammad, sekitar tahun 599 Masehi atau
600(perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali dilahirkan di dalam
Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan hingga
kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27
tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli
Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Muhammad SAW. Haydar yang berarti
Singa adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang
dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani diantara kalangan Quraisy
Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama
Haydar, Nabi SAW terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan
Ali yang berarti Tinggi (derajat di sisi Allah).
Kehidupan Awal
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah
binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan
Ali, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena
beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqir nya keluarga Abu
Thalib memberi kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah
untuk mengasuh Ali dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus
untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak
beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali sudah bersama
dengan Muhammad.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali kepada Nabi Muhammad SAW
dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi
Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi'ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan
tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu,
riwayat-riwayat lama seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali adalah lelaki
pertama yang mempercayai wahyu tesebut atau orang ke 2 yang percaya
setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali berusia sekitar
10 tahun.
Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali banyak
belajar langsung dari Nabi SAW karena sebagai anak asuh, berkesempatan
selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi
menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi
bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah ruhani (spirituality
dalam bahasa Inggris atau kaum Salaf lebih suka menyebut istilah
'Ihsan') atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang
diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau
Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari'ah atau
hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan
semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya,
sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang
tertentu dengan kapasitas masing-masing.
Didikan langsung dari Nabi
kepada Ali dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior)
atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali menjadi
seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di
kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan
hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga
masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah
tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bersedia tidur di
kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan
hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi yang tidur sehingga
masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali yang tidur, sudah
tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi yang telah meloloskan diri ke
Madinah bersama Abu Bakar.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama
dalam sejarah Islam. Di sini Ali betul-betul menjadi pahlawan disamping
Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali
masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang
lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandak juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abi Thalib
ketika memerangi Amar bin Abdi Wud. Dengan satu tebasan pedangnya yang
bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara
kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati
perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan
di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang
Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi
saw bersabda:
"Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang
yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan
Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya
mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya".
Maka,
seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut.
Namun, temyata Ali bin Abi Thalib yang mendapat kehormatan itu serta
mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang
prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali
pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Muhammad untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai disini hampir semua pihak sepakat tentang
riwayat Ali bin Abi Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi
Muhammad wafat. Syi'ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat
Ghadir Khum) bahwa Ali harus menjadi Khalifah bila Nabi SAW wafat.
Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali dan Fatimah masih
berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat
Abu Bakar.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu kurang
disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya pada satu sisi sebab
masih dalam keadaan berkabung (duka), tetapi demi kemashalatan ukhuwah
ummat ketika itu, hal tersebut justru sangat bijaksana dan terpuji.
Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai'at-an Ali bin Abi Thalib
terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah SAW. Ada yang
meriwayatkan setelah Nabi dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah
itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali mem-bai'at Abu Bakar setelah
Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi
mencegah perpecahan dalam ummat.
Ada yang menyatakan bahwa Ali
belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih
muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan dan kenabian
sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin
Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu
sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang
waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin
Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi
Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga
akhirnya Ali menerima bai'at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya
Khalifah yang dibai'at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih
melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa
pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah
Khalifah-Khalifah sebelumnya, terutama Sahabat Utsman bin Affan.ra.
Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi saat
masa pemerintahannya, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan
30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan
Ummul mu'minin Aisyah binti Abu Bakar, janda Rasulullah. Perang tersebut
dimenangkan oleh pihak Ali.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai
kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah
terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi
Muhammad SAW ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh
hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan,
menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan
perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan
terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan
kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abi Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang
militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi
negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan
sebelumya. Beliau meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh
Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij
(pembangkang) saat mengimami shalat subuh di masjid Kufah, pada tanggal
19 Ramadhan, dan Ali menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 21
Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali dikuburkan secara rahasia di Najaf,
bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat
lain.
Ali menikah kembali setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki
keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal lagi
mulia, lahir dari putri Baginda Nabi Muhammad SAW, Sayyidatina
Fatimah.rha, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang
merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan
dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Muhammad,
mereka dihormati baik oleh Sunni maupun Syi'ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abi Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri
dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan
itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai
saat ini keturunan Ali bin Abi Thalib kerap digelari Sayyid.
Anak laki-laki:
Hasan al-Mujtaba
Husain asy-Syahid
Muhammad bin al-Hanafiah
Abbas al-Akbar (dijuluki Abu Fadl)
Abdullah al-Akbar
Ja'far al-Akbar
Utsman al-Akbar
Muhammad al-Ashghar
Abdullah al-Ashghar
Abdullah (yang dijuluki Abu Ali)
Aun
Yahya
Muhammad al-Ausath
Utsman al-Ashghar
Abbas al-Ashghar
Ja'far al-Ashghar
Umar al-Ashghar
Umar al-Akbar
Anak perempuan :
Zainab al-Kubra
Zainab al-Sughra
Ummu Kaltsum
Ramlah al-Kubra
Ramlah al-Sughra
Nafisah
Ruqaiyah al-Sughra
Ruqaiyah al-Kubra
Maimunah
Zainab al-Sughra
Ummu Hani
Fathimah al-Sughra
Umamah
Khadijah al-Sughra
Ummu al-Hasan
Ummu Salamah
Hamamah
Ummu Kiram
Profil Imam Ali Bin Abu Thalib
Usaha menyingkat sejarah
kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam lembaran-lembaran buku,
bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah terbayang
kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak!
Kehidupan
Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir, sejak
terbai’atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid,
bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang
lain daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut
kekuatan syaraf istimewa pula.
Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib
r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar biasa, keagungan dan hal-hal
mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu juga penuh dengan gelombang
kekecewaan dan kengerian.
Oleh karena itu penulisan tentang semua
segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah. Ditambah pula dengan
adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik
dalam memujinya maupun dalam mencacinya.
Imam Ali bin Abi Thalib
r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau
secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata
beliau: “Ada dua fihak yang celaka karena berlebih-lebihan menilai
sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan pihak yang lain ialah
yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala
kebohongan tentang diriku.”
Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a.
mengatakan: “Ada segolongan orang yang demi cintanya kepadaku mereka
bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi
kebenciannya kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka.”
Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian
mengenai menantu dan sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua
faktor itu ialah sifat atau watak pribadi Imam Ali r.a. sendiri dan
situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh penting
Islam itu.
Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam
Ali r.a. mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit
dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan
memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan
sejak meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial
mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga
sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-15 Hijriyah sekarang ini.
Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan
yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah
s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah muncul
krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. Ancaman
dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih
muda itu.
Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa
dan antar-negara bermunculan hampir secara simultan. Keseimbangan
kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan kenegaraan yang
serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah
s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan,
ketidak-seimbangan dan ketidak-serasian.
Proses kristalisasi dan
disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada
tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan
pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a.
sebagai salah satu tokoh yang menonjol dan dekat sekali dengan Rasul
Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa berkepentingan
terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini
melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w.
Awal
tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul
Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu,
rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka
bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. Pada saat itulah Rasul
Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel hijau
buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat
tidur beliau. Imam Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya
melaksanakan tugas tersebut.
Ketika para pemuda Qureisy yang
berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah s.a.w. berada di
dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil
menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a.
Ketaatannya
kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan
merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor
keberanian ini sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar
keberanian ini tambah diperkuat oleh keyakinannya yang makin teguh pada
kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya pada Allah s.w.t.
Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela
serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong
utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai
pahlawan besar ummat Islam.
Hal itulah yang antara lain telah
menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan perselisihan
pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh
tokoh yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah.
Kemudian eksesnya menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak
disukai oleh yang bersangkutan sendiri.
Sebaliknya mereka yang
menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat
berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian
terakhir ini mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke
permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk peperangan melawan Imam
Ali r.a.
Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah
yang mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang mengaguminya,
kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses
penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar
golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang
membenci Imam Ali r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya.
Dua
fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a.
tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam.
Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang
sebagai “kaum penyembah Imam Ali r.a.” Semasa hidupnya, Imam Ali r.a.
sendiri sudah berulang kali melarang tindak dan sikap mereka yang
sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau disanjung
dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali
r.a. sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan
itu syirik. Peringatan itu sama sekali tidak menyurutkan pendirian
mereka.
Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga
mereka bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pendirian
itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan dibakar hidup-hidup,
hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran api
unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah
mereka berseru: “Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang
menetapkan adzab neraka ini”. Mereka rela mati dibakar dengan penuh
keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian dijatuhkan oleh
“tuhan” mereka sendiri.[1]
Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh
ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan Khawarij yang sangat benci
kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya justru
merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula
mereka sangat cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat
menjadi muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu
terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima
“perdamaian” dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal
sebagai “Tahkim bi Kitabillah”.
Kaum Khawarij itu menuntut kepada
Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas perbuatan salah yang
dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu
mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di
mana saja mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan
sejarah mencatat, Imam Ali r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan
golongan Khawarij.
Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi
seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan pertentangan pendapat
seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik
kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka
timbul pertentangan pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya
pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi mitos. Kenyataan adanya
pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan, bahwa Imam Ali
r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam.
Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan
vital dalam membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya
justru paling memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. mulai dengan
da’wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah mempertaruhkan
segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya
direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang.
Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh
segala usaha dan tipu-daya “dengan mengatas-namakan Islam”. Lebih parah
lagi karena dengan “mengatas-namakan Islam” selama 136 tahun,
kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan dan dihina.
Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah
ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah.
Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk
menegakkan kekuasaan otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani
menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan penguasa Bani
Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih “pengikut Imam Ali”
(Pecinta Ahlulbait).
Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a.
dengan jujur, pasti akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang
khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik
dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri,
maupun sejarawan tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang
seperti itu biasanya oleh seorang penulis terpaksa dikesampingkan saja
dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan.
Makin berkurangnya
faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin
dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih
mendekati objektivitas. Tetapi apakah begitu jadinya?
Para
sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah
meninggal akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan
riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali
r.a. hal itu masih dipertanyakan.
Dalam batas-batas pengungkapan
yang demikianlah, buku “Imam Ali bin Abi Thalib r.a.” ini
mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan,
keluarganya, rumah-tangganya, peranan kepahlawanannya semasa Rasul
Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah s.a.w., masa-masa kekhalifahan
Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa khalifah,
Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan
sebuah kenangan.
MASA ASUHAN
Dengan membaca buku-buku
riwayat atau sejarah, kita akan mengenal tokok-tokoh pembela kebenaran
dan keadilan: yang lebih mementingkan kepentingan umum daripada
kepentingan pribadi, tanpa pamrih dan bersedia mengorbankan diri untuk
membela keyakinan yang dirasa benar dan adil.
Juga dengan membaca
buku-buku riwayat atau sejarah, kita akan mengenal orang-orang yang
senantiasa memusuhi kebenaran dan keadilan, yang lebih mementingkan
kepentingan pribadi daripada kepentingan umum dan hanya memikirkan
keuntungan saja tanpa memperdulikan halal atau haramnya sesuatu.
Dua macam sifat atau watak seperti di atas, tidak mungkin mendadak
lahir setelah dewasa saja. Sifat tersebut lahir melalui proses. Hal ini
juga berlaku bagi Imam Ali r.a.
Untuk mengetahui bagaimana proses
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. menjadi seorang pahlawan Islam yang
tangguh, hingga dijadikan suri-tauladan oleh para pejuang Islam,
marilah kita ikuti sejak kelahirannya, masa kanak-kanaknya, masa
remajanya dan kemudian setelah dewasa.
Putera Ka’bah
Telah menjadi keyakinan orang yang beragama, bahwa manusia dapat
merencanakan sesuatu dan berusaha mewujudkan rencananya. Akan tetapi
apakah rencana tersebut akan tercapai atau gagal, manusia yang
merencanakan tadi tak dapat menentukannya. Penentuan terakhir di tangan
Allah s.w.t.
Banyak orang yang ingin agar isterinya dapat
melahirkan putera atau puteri di tempat tertentu dan disaksikan oleh
keluarga yang lengkap. Apakah keinginan atau rencana orangtua itu akan
tercapai, Allah s.w.t. yang menentukan.
Bagaimana halnya dengan kelahiran Imam Ali r.a.? Di mana beliau dilahirkan? Di rumah Abu Thalib atau di tempat lain?
Tentang tempat kelahiran Imam Ali r.a., A1 Hakim dalam buku “Al
Mustadrak”, jilid III, halaman 483, antara lain mengemukakan: Ketika
itu hari Jum’at, 13 bulan Rajab, 12 tahun sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
mendapat risalah. Seorang wanita, meskipun perutnya nampak besar sekali,
bersama suaminya melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Wanita yang
bernama Fatimah itu tiba-tiba merasakan perutnya sakit. Ketika rasa
sakitnya bertambah, segera diberitahukan kepada suaminya, Abu Thalib.
Mendengar keluhan itu, Abu Thalib segera menggandeng isterinya masuk ke
dalam Ka’bah. Menurut perkiraan, isterinya kelelahan. Diharapkan dengan
beristirahat sebentar rasa sakitnya akan berkurang.
Kenyataannya tidak seperti yang diperkirakan Abu Thalib. Perut Fatimah
bertambah sakit. Fatimah yang sudah berkali-kali melahirkan, telah
mengerti isyarat apa yang sedang dialaminya. Sebagai seorang wanita yang
shaleh, ia tidak mengungkapkan isyarat itu kepada suaminya. Dia
khawatir jika suaminya tahu, tentu maksud suaminya menyelesaikan tawaf
akan terganggu. Ia tidak ingin berbuat demikian. Suaminya tetap
dianjurkan menyelesaikan tawafnya.
Dalam keheningan dan keredupan
Baitullah, rumah Allah, Fatimah merasa perutnya bertambah mulas. Disaat
itu yang teringat di hati Fatimah ialah bahwa rasa sakitnya akan
berkurang dengan datangnya pertolongan Allah. Fatimah segera mengangkat
tangan, yang sebelumnya memegang perut untuk menahan rasa sakit dan
dengan suara sayu tersengal-sengal berucap: “Ya Allah, Ya Tuhanku.
Aku
bernaung kepada-Mu, kepada utusan-utusan-Mu dan Kitab-kitab yang datang
dari-Mu. Aku percaya kepada ucapan datukku Ibrahim, pendiri rumah ini.
Maka demi pendiri rumah ini dan demi jabang bayi yang ada di dalam
perutku, aku mohon kepada-Mu untuk dimudahkan kelahirannya”.[1]
Beberapa saat seusai mengucapkan doa, lahirlah bayi dengan selamat. Bayi
ini adalah putra ke-empat dari Fatimah. Sepanjang ingatan orang,
inilah untuk pertama kali seorang wanita melahirkan puteranya dalam
Ka’bah. Kelahiran bayi ini hanya disaksikan oleh ayah bundanya saja.
Kejadian yang luar biasa ini, beritanya segera tersiar ke berbagai
penjuru. Berbondong-bondonglah mereka, terutama keluarga Bani Hasyim,
datang ke Ka’bah, guna menyaksikan bayi yang baru lahir. Di antara yang
datang ialah Nabi Muhammad s.a.w. Bayi ini saudara misan beliau sendiri.
Beliau menggendong bayi tersebut, kemudian bersama ayah-ibunya pulang
ke rumah Abu Thalib.
Meskipun bayi ini merupakan putera keempat,
namun oleh ayahnya dipandang sebagai kurnia besar yang dilimpahkan Allah
s.w.t. kepada keluarganya. Kegembiraan Abu Thalib ini tercermin dari
perintah yang segera dikeluarkan untuk menyelenggarakan pesta walimah.
Guna memeriahkan pesta itu, beberapa ekor ternak dipotong.
Pemuka-pemuka Qureiys diundang mengunjungi pesta itu, sebagai
penghormatan atas kelahiran puteranya. Pada kesempatan itulah Abu Thalib
mengumumkan pemberian nama “Ali” kepada puteranya yang baru lahir.
“Ali” berarti “luhur”.
Nama dan Gelarnya
Sesungguhnya,
sebelum berlangsung pesta walimah, di mana Abu Thalib mengumumkan nama
“Ali” bagi puteranya yang keempat itu, Fatimah telah memberi nama
“Haidarah”, yang berarti “Singa”. Satu nama yang diambil persamaannya
dari nama Asad, nama datuknya dari pihak ibu, yang juga berarti “Singa”.
Sementara orang mengatakan, bahwa yang memberi nama “Haidarah” ialah
orang-orang Qureiys. Tetapi sejarah membuktikan, bahwa nama “Haidarah”
itu sesungguhnya pemberian ibunya sendiri.
Bukti sejarah ini
dapat diketahui dari peristiwa perang-tanding, seorang lawan seorang,
antara Imam Ali r.a. melawan Marhaban. Dalam perang-tanding itu
Marhaban mengagul-agulkan diri dengan bait syairnya: “Aku inilah yang
diberi nama Marhaban oleh ibuku!” Imam Ali r.a. segera menukas dan
melanjutkan bait syair itu dengan kata-katanya: “Aku inilah yang diberi
nama Haidarah oleh ibuku!”
Hanya saja nama yang diberikan ibunya
menjadi tenggelam sesudah pengumuman ayahnya dalam pesta walimah, yaitu
“Ali”. Ia lebih terkenal dengan nama Ali bin Abi Thalib.
Ketika
di bawah asuhan Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. pernah diberi julukan
“Abu Turab”, yang artinya “Si Tanah”. Pemberian julukan itu erat
kaitannya dengan peristiwa ditemuinya Imam Ali r.a. di satu hari sedang
tidur berbaring di atas tanah. Yang menemuinya Nabi Muhammad s.a.w.
sendiri. Beliau menghampirinya dan duduk dekat kepalanya sambil
mengusap-usap punggungnya guna membuang debu-tanah. Kemudian Nabi
Muhammad s.a.w. membangunkannya seraya berkata: “Duduklah, engkau hai
Abu Turab!”
Nama Abu Turab ini paling disukai oleh Imam Ali r.a.
Ia sangat bangga bila dipanggil dengan nama itu. Menurut Al Bashri, nama
Abu Turab ini di kemudian hari oleh orang-orang Bani Umayyah dijadikan
bahan ejekan guna merendahkan martabat Khalifah Imam Ali r.a. Mereka
mengatakan, bahwa pemberian nama Abu Turab” oleh Rasul Allah s.a.w.
merupakan bukti tentang kekurangan dan kelemahan fitrahnya.
Disamping nama-nama tersebut di atas, Imam Ali r.a. juga terkenal
dengan panggilan Abul Hasan. Ini terjadi, setelah kelahiran putera
beliau, Al Hasan. Selain dari nama-nama tersebut di atas; Imam Ali r.a.
banyak sekali mendapat gelar dan yang paling populer hingga sekarang
ialah “Imam”.
Di bawah Naungan Wahyu
Ketika Imam Ali r.a.
menginjak usia 6 tahun, Makkah dan sekitarnya dilanda paceklik hebat.
Sebagai akibatnya, kebutuhan pangan sehari-hari sulit diperoleh. Bagi
mereka yang berkeluarga besar dan ekonomi lemah, seperti keluarga Abu
Thalib, pukulan paceklik terasa parah sekali.
Pada masa paceklik
ini, Nabi Muhammad s.a.w. telah berumah tangga dengan Sitti Khadijah
binti Khuwalid r.a. Beliau tak dapat melupakan budi pamannya yang telah
memelihara dan mengasuh beliau sejak kecil hingga dewasa. Bertahun-tahun
beliau hidup di tengah-tengah keluarga Abu Thalib, mengikuti
suka-dukanya dan mengetahui sendiri bagaimana keadaan penghidupannya.
Dalam suasana paceklik ini, Nabi Muhammad s.a.w. menyadari betapa
beratnya beban yang dipikul pamannya, Abu Thalib, yang sudah lanjut
usia. Hati beliau terketuk dan segera mengambil langkah untuk
meringankan beban pamannya.
Nabi Muhammad s.a.w. mengetahui,
bahwa Abbas bin Abdul Mutthalib, juga paman beliau, adalah seorang
terkaya di kalangan Bani Hasyim. Dibanding dengan saudara-saudaranya,
Abbas mempunyai kemampuan ekonomis yang lebih baik. Dengan tujuan untuk
meringankan beban Abu Thalib, beliau temui Abbas bin Abdul Mutthalib.
Kepada pamannya itu beliau kemukakan betapa berat derita yang ditanggung
Abu Thalib sebagai akibat paceklik. Kemudian, dalam bentuk pertanyaan,
Nabi Muhammad s.a.w berkata: “Bagaimana paman, kalau kita sekarang ini
meringankan bebannya? Kusarankan agar paman mengambil salah seorang
anaknya. Aku pun akan mengambil seorang.”
Abbas bin Abdul
Mutthalib menyambut baik saran Nabi Muhammad s.a.w. Setetah melalui
perundingan dengan Abu Thalib, akhirnya terdapat kesepakatan: Ja’far bin
Abi Thalib diserahkan kepada Abbas, sedang Ali bin Abi Thalib r.a.
diasuh oleh Nabi Muhammad s.a.w.
Sejak itu Imam Ali r.a. diasuh
oleh Nabi Muhammad s.a.w. dan isteri beliau, Sitti Khadijah binti
Khuwailid r.a. Bagi Imam Ali r.a. sendiri lingkungan keluarga yang baru
ini, bukan merupakan lingkungan asing. Sebab Nabi Muhammad sendiri
dalam masa yang panjang pernah hidup di tengah-tengah keluarga Abu
Thalib. Malahan yang menikahkan Nabi Muhammad s.a.w. dengan Sitti
Khadijah binti Khuwalid r.a., juga Abu Thalib.
Bagi Nabi Muhammad
s.a.w., Imam Ali r.a. bukan hanya sekedar saudara misan, malahan dalam
pergaulan sudah merupakan saudara kandung. Lebih-lebih setelah dua orang
putera lelaki beliau, Al Qasim dan Abdullah, meninggal. Betapa besar
kasih sayang yang beliau curahkan kepada putera pamannya itu dapat
diukur dari berapa besarnya kasih-sayang yang ditumpahkan Abu Thalib
kepada beliau. Bahkan pada waktu dekat menjelang bi’tsah, Nabi Muhammad
s.a.w. sering mengajak Imam Ali r.a. menyepi di gua Hira, yang terletak
dekat kota Mekkah. Ada kalanya Imam Ali r.a. diajak mendaki bukit-bukit
sekeliling Makkah guna menikmati keindahan dan kebesaran ciptaan Allah
s.w.t.
Sejak usia muda Imam Ali r.a. sudah menghayati indahnya
kehidupan di bawah naungan wahyu Illahi, sampai tiba saat kematangannya
untuk menghadapi kehidupan sebagai orang dewasa. Selama masa itu beliau
mengikuti perkembangan yang dialami Rasul Allah s.a.w. dalam
kehidupannya.
Sungguh merupakan saat yang sangat menguntungkan
bagi pertumbuhan jiwa Imam Ali r.a. dengan berada di dalam lingkungan
keluarga termulia itu. Periode yang paling berkesan dalam kehidupan Imam
Ali r.a. adalah dimulai dari usia 6 tahun sampai Nabi Muhammad s.a.w.
menerima wahyu pertama dari Allah s.w.t. Imam Ali r.a. mendapat
kesempatan yang paling baik, yang tidak pernah dialami oleh siapa pun
juga, ketika Nabi Muhammad s.a.w. sedang dipersiapkan Allah s.w.t.
untuk mendapat tugas sejarah yang maha penting itu.
Imam Ali r.a.
menyaksikan dari dekat saudara misannya melaksanakan ibadah kepada
Allah s.w.t dengan cara yang berbeda sama sekali dari tradisi dan
kepercayaan orang-orang Makkah ketika itu.
Imam Ali r.a. menyaksikan
juga betapa saudara misannya menjauhi kehidupan jahiliyah, menjauhi
kebiasaan minum khamar, menjauhi perzinahan. Selain itu, dengan mata
kepala sendiri Imam Ali r.a. menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa
dan fikiran Nabi Muhammad s.a.w.
Semua warisan yang telah
diterima Imam Ali r.a. dari para orangtuanya, kini berkembang mekar di
hadapan seorang maha guru yang cakap dan bijaksana, yaitu putera
pamannya sendiri. Manusia terbesar di dunia itulah yang menghubungkan
diri Imam Ali r.a. dengan Allah s.w.t.
Masa Kanak-kanak
Tentang usia Imam Ali r.a. ketika Rasul Allah s.a.w. mulai melakukan
da’wah risalah, terdapat riwayat yang berlainan. Sebagian riwayat
mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. pada waktu itu masih berusia 10 tahun.
Sementara ahli sejarah lain mengatakan, Imam Ali r.a. ketika itu telah
berusia 13 tahun. Yang terakhir ini antara lain ditegaskan oleh Syeikh
Abul Qasyim Al Balakhiy.
Masalah usia Imam Ali r.a. ini banyak
dipersoalkan oleh penulis sejarah, karena ada kaitannya dengan
penilaian: apakah Imam Ali memeluk agama Islam di masa kanak-kanak
ataukah setelah akil baligh. Tampaknya riwayat yang lebih kuat
mengatakan bahwa Imam Ali r.a. telah berusia 13 tahun pada waktu Rasul
Allah s.a.w. memulai da’wahnya.
Pada waktu Nabi Muhammad s.a.w.
menerima tugas da’wah Ilahiyah, Imam Ali r.a. menyambutnya tanpa bimbang
dan ragu. Hal itu dimungkinkan karena lama sebelumnya ia telah langsung
hidup di bawah naungan Rasul Allah s.a.w. Bila ada hal yang ketika itu
tidak mudah difahami Imam Ali r.a. hanyalah mengenai cara-cara
pelaksanaan risalah dan beban tanggung jawab yang harus dipikulnya
sebagai orang beriman.
Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menerima
perintah Allah s.w.t. supaya melakukan da’wah secara terbuka dan
terang-terangan, Imam Ali r.a. ikut ambil bagian sebagai pembantu. Imam
Ali r.a. antara lain menyampaikan seruan-seruan Rasul Allah s.a.w.
kepada sejumlah orang tertentu di kalangan anggota-anggota keluarganya.
Tentang hal yang terakhir ini, ibnu Hisyam dalam riwayatnya
mengemukakan, bahwa Imam Ali r.a. pernah mengatakan dengan jelas, bahwa
Rasul Allah s.a.w. secara rahasia memberi tahu kepada siapa saja yang
mau menerima dari kalangan anggota-anggota keluarga dan familinya,
mengenai nikmat kenabian yang dilimpahkan Allah kepada beliau dan kepada
umat manusia melalui beliau.
Untuk itu Rasul Allah s.a.w.
menyampaikan da’wahnya lebih dahulu kepada anggota-anggota keluarga
yang paling dekat, yaitu isterinya sendiri Sitti Khadijah r.a. dan
saudara misan asuhannya, Imam Ali r.a. Setelah kepada dua orang itu,
barulah kepada Zaid bin Haritsah, putera angkatnya.
Imam Ali
r.a. sendiri sebagai orang yang paling dini melakukan tugas da’wah
membantu Rasul Allah s.a.w. pernah menerangkan, bahwa pada masa itu
tidak ada satu rumah pun yang menghimpun anggota-anggota keluarga dalam
agama Islam, selain rumah-tangga Rasul Allah s.a.w. dan Khadijah r.a.
“Dan akulah orang ketiga dalam rumah itu. Aku menyaksikan langsung
cahaya wahyu dan risalah serta mencium semerbaknya bau kenabian”
demikian kata Imam Ali r.a.
Ali bin Al Husein bin Ali bin Abi
Thalib, cucu Imam Ali r.a., melalui sebuah riwayat memberitahukan kapan
datuknya mulai memeluk agama Islam. Ia mengatakan: “Ia beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya tiga tahun lebih dulu sebelum orang lain.”
Masa Remaja
Dari sejarah hidupnya, sejak usia kanak-kanak langsung menerima asuhan
Rasul Allah s.a.w., tidak ada keraguan lagi, bahwa Imam Ali r.a.
merupakan orang yang paling dini menerima hidayah Ilahi, paling dulu
beriman dan bersujud kepada-Nya. Para peneliti buku-buku riwayat akan
menemukan kenyataan tersebut dan dapat mengetahuinya dengan jelas.
Dalam masa remaja, Imam Ali r.a. sudah aktif membantu da’wah Rasul
Allah s.a.w. Menurut Abdullah bin Abbas, Imam Ali r.a. sendiri pernah
menceritakan tentang hal itu sebagai berikut:
“Setelah turun ayat
214 Surah Asy Syura (perintah Allah kepada Rasul-Nya supaya
memperingatkan kaum kerabat yang terdekat), beliau memanggil aku.
Kemudian berkata: “Hai Ali, Allah telah memerintahkan supaya aku memberi
peringatan kepada kaum kerabatku yang terdekat. Aku merasa agak sedih,
sebab aku tahu, jika aku berseru kepada mereka melaksanakan perintah
itu, aku akan mengalami sesuatu yang tidak kusukai. Oleh karena itu aku
diam saja sampai datanglah Jibril yang berkata kepadaku, “Hai
Muhammad, jika engkau tidak berbuat seperti yang diperintahkan
kepadamu, Tuhan akan menjatuhkan adzab kepadamu.” Oleh karena itu, hai
Ali, buatlah makanan. Masaklah paha kambing dan sediakan untuk kita susu
sewadah besar. Setelah itu kumpulkan keluarga Bani Abdul Mutthalib.
Mereka hendak kuajak bicara dan akan kusampaikan apa yang diperintahkan
Allah kepadaku.”
“Semua yang diperintahkan beliau kepadaku,
kukerjakan segera. Kemudian anggota-anggota keluarga Bani Abdul Muttalib
kuundang supaya hadir. Jumlah mereka yang hadir kurang lebih 40 orang.
Di antara mereka itu terdapat para paman Rasul Allah s.a.w., seperti Abu
Thalib, Hamzah, Abbas dan Abu Lahab. Setelah semuanya berkumpul, Rasul
Allah s.a.w. memanggilku dan memerintahkan supaya makanan segera
dihidangkan. Hidangan itu kusajikan. Rasul Allah s.a.w. mengambil
sepotong daging, lalu diletakkan kembali pada tepi baki. Beliau
mempersilakan mereka mulai menikmati hidangan: ‘Silakan kalian makan,
Bismillah!’ Mereka semua makan dan minum sekenyang-kenyangnya. Demi
Allah, mereka masing-masing makan dan minum sebanyak yang kuhidangkan.”
“Ketika Rasul Allah s.a.w. hendak mulai berbicara beliau didahului oleh
Abu Lahab. Abu Lahab berkata kepada hadirin dengan sinis: “Kalian
benar-benar sudah disihir oleh saudara kalian!”
“Karena ucapan
Abu Lahab semua yang hadir pergi meninggalkan tempat. Keesokan harinya
aku diperintahkan lagi oleh Rasul Allah s.a.w. supaya mempersiapkan
segala sesuatunya seperti kemarin. Setelah semua makan minum secukupnya,
Nabi Muhammad s.a.w. berkata kepada mereka: “Hai Bani Abdul Mutthalib.
Demi Allah, aku tidak pernah mengetahui ada seorang pemuda dari
kalangan orang Arab, yang datang kepada kaumnya membawa sesuatu yang
lebih mulia daripada yang kubawa kepada kalian. Untuk kalian aku
membawa kebajikan dunia dan akhirat. Allah memerintahkan aku supaya
mengajak kalian ke arah itu. Sekarang, siapakah di antara kalian yang
mau membantuku dalam persoalan itu dan bersedia menjadi saudaraku,
penerima wasiatku dan khalifahku?”
“Semua yang hadir bungkam.
Hanya aku sendiri yang menjawab: “Aku !” Waktu itu aku seorang yang
paling muda usianya dan masih hijau. Kukatakan lagi: “Ya, Rasul Allah,
akulah yang menjadi pembantumu!” Beliau mengulangi ucapannya dan aku
pun mengulangi kembali pernyataanku. Rasul Allah s.a.w. kemudian
memegang tengkukku, seraya berseru kepada semua yang hadir: “Inilah
saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku atas kalian!” Semua yang
hadir berdiri sambil tertawa terbahak-bahak. Mereka berkata hampir
serentak kepada Abu Thalib: “Hai Abu Thalib! Dia (yakni Muhammad)
menyuruhmu supaya taat kepada anakmu!”
Hadis yang senada dengan
apa yang dikemukakan Abdullah bin Abbas, juga diriwayatkan oleh Abu
Ja’far At Thabary dalam bukunya “At Tarikh”.[2]
Itulah sekelumit
riwayat tentang seorang muda remaja yang kemudian hari bakal menjadi
pemimpin ummat Islam. Seorang pemimpin yang dihormati tidak saja oleh
kaum muslimin, tetapi juga oleh para ahludz dzimmah, yaitu kaum Nasrani
dan kaum Yahudi yang bersedia hidup damai di bawah pemerintahan Islam.
Di depan Abu Lahab, orang yang selama ini selalu mengancam-ancam dan
menuntut supaya Rasul Allah s.a.w. menghentikan da’wahnya, Imam Ali
r.a. yang masih remaja itu berani menyatakan dukungan dan bantuannya
kepada Nabi Muhammad s.a.w.
Sayyidina Al-Imam Ali bin Abu Thalib
Karramallahu Wajhah adalah sahabat yang sangat beruntung karena sejak
kecil dididik Rasulullah SAW. Dari kalangan muda, beliaulah yang yang
pertama masuk islam. Begitu beliau dewasa, Rasulullah SAW mengambilnya
sebagai menantu.
Rasulullah SAW menikahkan Sayyidatuna Fatimah
dengan Sayyidina Ali bin Abu Thalib pada bulan Rajab, beberapa bulan
setelah hijrah dari Mekah ke Madinah. Namun keduanya tidak langsung
berkumpul layaknya pasangan suami istri. Karena saat itu, Rasulullah SAW
masih menetap di rumah Abu Ayub Al-Anshari, di Madinah. Sementara
beliau sendiri masih menyelesaikan pembangunan rumahnya di sekitar
Masjid Nabawi.
Baru setelah rumah itu berdiri, bertepatan dengan
selesainya perang Badar, Sayyidatuna Fatimah dan Sayyidina Ali
berkumpul. Yaitu pada tahun kedua setelah Hijrah. Ketika Rasulullah SAW
bermaksud pulang setelah mengantar putri tersayangnya ke rumah Sayyidina
Ali; Sayyidatuna Fatimah menangis karena sedih bakal berpisah dengan
bapaknya.
Sebelum menikah dengan Sayyidina Ali bin Abu Thalib; dua
orang sahabat Nabi SAW yaitu Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq dan
Sayyidina Umar bin Khaththab, telah meminta kepada Nabi SAW agar
mengangkatnya sebagai menantu. Tapi Nabi SAW menolaknya, dengan alasan
Sayyidatuna Fatimah masih terlalu kecil dan menunggu petunjuk dari Allah
SWT.
Seusai pernikahan, Sayyidina Ali menyerahkan uang empat ratus
dirham kepada Rasulullah SAW. Sepertiga dari jumlah itu beliau serahkan
untuk membeli wewangian. Sepertiga lainnya digunakan membeli pakaian.
Sedang sisanya di serahkan pada Ummu Salamah untuk disimpan.
Sepertiga uang yang dibelanjakan ternyata hanya cukup untuk membeli
barang-barang sederhana. Seluruh barang yang didapat terbuat dari bahan
kain kasar, kulit, kayu dan tembikar. Bahkan Rasulullah SAW sempat
menangis melihat peralatan pernikahan putri yang dicintainya sangat
sederhana.
Rasulullah pernah bersabda kepada Sayyidatuna Fatimah pada waktu beliau dinikahkan dengan Sayyidina Ali Kw :
“Kamu Kunikahkan dengan Ahli Baitku yang paling Kucintai.” (HR.Thabrani, Hakim, Nasa’i dan Ahmad)
Sayyidina Ali adalah anak Abdu Manaf, yang lebih dikenal dengan sebutan
“Abu Thalib” ( ayah Thalib ). Thalib adalah anak tertua Abdu Manaf.
Berbeda dengan kebiasaan petinggi kaum Quraisy lainnya, Abu Thalib
memiliki kebiasaan khusus, yaitu berpantang meminum minuman keras.
Ibunda Sayyidina Ali adalah Fatimah binti Asad bin Hasyim. Ia tercatat
sebagai wanita pertama dari Bani Hasyim yang menikah dengan pria dari
Bani Hasyim pula. Sebelum itu telah menjadi kebiasaan bagi pria Bani
Hasyim menikah dengan wanita Quraisy lain yang bukan Bani Hasyim.
Rasulullah SAW mendidik dan membina Sayyidina Ali sedari kecil. Hal itu
dilakukannya dengan ikhlas, karena sadar betapa Abdu Manaf dan
keluarganya telah melindungi dan menolong Rasulullah SAW sejak kecil
sampai dewasa.
Sayyidina Ali memiliki nama selain pemberian ayahnya.
Dari ibunya, beliau memiliki nama Haidarah (singa). Sayyidina Ali juga
kerap dipanggil Abul Hasan dan Abul Husein.
Setelah selesai perang
Asyirah di daerah Yanbu’, Sayyidina Ali beserta salah seorang sahabat
yang lain tertidur di bawah pohon kurma yang rindang tanpa alas apapun.
Hingga keduanya dibangunkan Rasulullah SAW dalam keadaan punggungnya
berlumuran debu. Ketika melihat punggung Sayyidina Ali penuh debu,
Rasulullah SAW berujar :
“ Hai Abu Turab mengapa engkau tidur di tempat ini ?
Rasullah SAW memberikan nama panggilan kepadanya “Abu Turab”(bapak debu, yang bermakna “Orang yang sangat rendah hati”.
Selain Abdul Muthalib dan Abu Thalib, Sayyidina Ali pun ikut membantu
dan melindungi Rasulullah SAW dalam melaksanakan dakwah. Hal ini
dilakukan Sayyidina sejak beliau masih kanak-kanak. Suatu ketika kaum
Quraisy mengalami kebuntuan dalam mengganggu dakwah Rasulullah. Tanpa
berputus asa, kaum Quraisy kemudian menghasut anak-anak untuk melempari
batu ke arah nabi SAW.
Paman Rasulullah SAW, Abu Thalib tidak
mungkin melawan anak-anak kaum Quraisy tesebut. Maka ketika Abdu Manaf
mengkhawatirkan keselamatan Nabi SAW, tampillah Sayyidina Ali yang kala
itu masih kanak-kanak melawan mereka. Beliau menggigit wajah dan kuping
anak-anak kaum Quraisy yang coba mengganggu Nabi SAW. Karena kebiasaan
itulah, beliau mendapat julukan Al-Qadhim ( tukang gigit ) dari kalangan
penduduk Mekah.
Sayyidina Ali adalah laki-laki pertama yang masuk
islam setelah Rasulullah SAW sendiri. Dalam hal ini An-Nasai dalam kitab
Al-Khasha’ishah mengemukakan sebuah riwayat berasal dari Afif Al-Kindi
yang menyaksikan sebuah “keanehan”. Suatu hari pada zaman Jahiliyah, ia
datang ke Mekah untuk membeli pakaian dan wewangian. Saat singgah di
rumah Sayyidina Abbas bin Abdul Muthalib, ia melihat keanehan itu dekat
Ka’bah. Lalu ia bertanya kepada Sayyidina Abbas :
“Adakah kau melihat satu keanehan disana?”
Sayyidina Abbas menjawab :
“Soal aneh, tahukah kamu siapakah anak muda itu?”
Setelah Sayyidina Abbas mengatakan adanya agama baru, ia melanjutkan kalimatnya.
“Kemenakanku ( Muhammad SAW ) memberitahu kepadaku bahwa tuhannya
adalah Tuhan penguasa langit dan bumi. Dan ia diperintahkan oleh
Tuhannya untuk membawakan agama yang dianutnya itu. Demi Allah, tidak
ada seorang pun di muka bumi yang menganut agama itu selain mereka
bertiga, yaitu Rasulullah SAW, istri beliau ( Khadijah binti Khuwalid )
dan Ali bin Abu Thalib.”
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa ketika Sayyidina Ali menyatakan dirinya memeluk islam, usianya kala itu baru sepuluh tahun.
Sayyidina Ali bin Abu Thalib Kw adalah seorang Alim yang cerdas, Ahli
Fiqih, panglima yang bijaksana, yang kealimannya tidak pernah rusak oleh
kekuasaan, yang keputusannya tidak pernah menyimpang demi kepuasan para
pengikutnya, Imam yang Wara’, cendikiawan yang berotak cemerlang, Qadhi
yang jenius, Amirul Mu’minin, salah seorang ksatria yang
diperhitungkan, seorang Orator berbahasa fasih dan seorang ahli Zuhud
yang di agungkan.
Beliau tidak pernah menundukkan diri kepada
berhala selama hidupnya; orang yang pertama kali masuk islam dari
kalangan pemuda serta orang pertama kali melakukan shalat di belakang
Rasulullah saw.
Beliau adalah pembawa bendera Rasulullah saw dalam
sebagian besar peperangan beliau, mengikuti semua peperangan selain
perang Tabuk, karena ketika itu beliau diangkat sebagai pengganti oleh
Rasulullah saw. Beliau berhati mulia di dalam perdamaian dan mulia dalam
pertempuran. Di antara kemulian yang Allah swt limpahkan kepada dirinya
adalah bahwa mata beliau tidak pernah memandang aurat sama sekali.
Beliau adalah Kholifah ke empat diantara Khulafaur Rasyidin, termasuk
diantara sepuluh orang yang telah memperoleh kabar gembira akan masuk
Syurga.
Beliau menyadari kemuliaan ini, seraya berkata :
“Kamu sekalian mengetahui posisi saya disisi Rasulullah saw dengan
hubungan kerabat yang sangat dekat dan kedudukan istimewa. Beliau
meletakkan saya ke dalam pangkuan beliau; sedangkan saya adalah seorang
anak kecil yang beliau dekap didadanya. Beliau menempatkan saya di
tempat tidur beliau. Beliau merekatkan saya dengan tubuh beliau,
mengharumkan saya dengan keringat beliau. Beliau tidak pernah menjumpai
kedustaan dalam ucapan saya dan kesalahan dalam perbuatan saya. Saya
selalu mengikuti beliau seperti halnya anak sapi yang disapih yang
selalu ikut serta dibelakang ibunya. Beliau setiap hari memperlihatkan
sifat-sifat beliau kepada saya sebagai pendidik dan beliau menyuruh saya
agar selalu mengikuti ajaran beliau.”
Rasulullah pernah bersabda tentang Sayyidina Ali Kw, ketika berada di mata air Ghadir Khum :
“Barang siapa mengakui bahwa saya adalah junjungannya, maka Ali adalah
junjungannya juga. Ya Allah sertailah orang yang menyertai Ali dan
musuhilah orang yang memusuhi Ali”
( HR.Turmuzi, Hakim, Nasai, Ahmad, Bazzar, Thabrani Abu Ya’la )
Rasulullah saw pernah memberitahu kepada Sayyidina Ali bahwa
sesungguhnya tidak akan mencintai Ali kecuali orang Mu’min dan tidak
akan membencinya kecuali orang munafik
Diriwayatkan dari Zir bin Hubaisy, bahwa ia berkata : Saya pernah mendengar Sayyidina Ali Kw berkata:
“Demi zat yang telah menumbuhkan biji-bijian dan yang telah menciptakan
makhluk hidup, sesungguhnya adalah jaminan seorang Nabi yang Ummi
kepada saya bahwasanya tidak akan mencintai saya kecuali orang mu’min
dan tidak akan membenci saya kecuali orang munafik.”
( HR.Muslim, Turmuzi, Nasa’i dll )
Ketika turun ayat Muhabalah :
“Maka katakanlah ( Wahai Muhammad ) : Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu….
( QS.Ali Imran :61 )
Maka Rasulullah saw mengumpulkan Sayyidina Ali, Sayyidatuna Fatimah, Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husein dan beliau bersabda :
“Ya Allah mereka inilah keluargaku.”
( HR.Muslim, Turmuzi, Hakim, dll ).
Keistimewaan Sayyidina Ali Kw
1. Abul Abbas :
“Ali memiliki empat keistimewaan yang tidak dimiliki oleh siapapun
selain Ali yaitu dia adalah orang yang pertama kali diantara orang Arab
dan orang Ajam menjalankan sholat bersama Muhammad saw; dia adalah orang
yang membawa bendera Rasulullah saw didalam setiap pasukan besar; dia
adalah orang yang sabar menyertai Rasulullah saw ketika orang lain lari
meninggalkan beliau ( ketika perang ) dan dia adalah orang yang
memandikan jenazah Rasulullah, sekaligus mensemayamkan beliau ke dalam
kubur.”
2. Imam Hasan Al-Basri:
“Demi Allah dia adalah anak
panah yang sangat tepat sasaran. Dia adalah Alim Robbani nya umat ini,
yang memiliki keutamaan serta memiliki kekerabatan kepada Rasulullah
saw. Dia telah mendapat Al Qur’an lewat keteguhan hatinya.”
3. Imam Ahmad bin Hanbal, Ismail Al Qadli, An Nasa’i :
“Tidak ada hadits yang menerangkan tentang diri salah seorang dari
sahabat dengan sanad-sanad yang bagus sebanyak hadits yang menerangkan
tentang Ali ra.”
4. Memiliki kemampuan bersabar dan memaafkan
yang luar biasa; ketika ada sebagian orang mengundurkan diri dari
pembaiatan dirinya sebagai Khalifah; beliau hanya berkata : “Mereka itu
adalah golongan yang menelantarkan kebenaran dan juga tidak menolong
kebatilan, mereka telah mengundurkan diri dari kebenaran dan tidak pula
berdiri menyertai kebatilan.”
5. Imam Bukhari telah meriwayatkan
dari Sayyidina Umar bin Khattab ra bahwa beliau berkata : “Orang yang
paling ahli membaca diantara kami adalah Ubai dan orang yang paling ahli
memutuskan perkara diantara kami adalah Ali.”(HR.Bukhari)
6.
Memiliki daya ingat yang kuat ( Udzunun Wa’iyah ) : mendengar dan hafal
terhadap apa yang telah didengarnya dan tidak menghilangkannya hanta
karena sebab tidak mengamalkannya.
7. Menjadi penyampai ( Tabligh ) sebagai wakil Rasulullah saw.
8. Imam Bukhari dan yang lainnya meriwayatkan dari Al-Bara’ bin Azib
bahwa ia berkata :”Rasulullah saw telah berkata kepada Sayyidina Ali Kw”
: “Engkau adalah bagian dari diriku dan Aku adalah bagian dari dirimu”
9. Imam Bukhari meriwayatkan dari Sayyidina Ali Kw; bahwa beliau
berkata : “Saya adalah orang yang pertama kali berlutut untuk
menyelesaikan pertengkaran di hadapan Ar-Rahman pada hari kiamat nanti”
10. Sayyidina Ali Kw adalah orang laki-laki paling terakhir bertemu dengan Rasulullah saw.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw
menyatakan: 'Manusia diciptakan dari berbagai jenis pohon, sedang aku
dan Ali bin Abi Thalib diciptakan dari satu jenis pohon (unsur). Apakah
yang hendak kalian katakan tentang sebatang pohon yang aku sendiri
merupakan pangkalnya, Fatimah dahannya, Ali getahnya, al-Hasan dan
al-Husein buahnya, dan para pencinta kami adalah dedaunannya!
Barangsiapa yang bergelantung pada salah satu dahannya ia akan diantar
ke dalam surga, dan barangsiapa yang meninggalkannya ia akan terjerumus
ke dalam neraka."
Imam Ali bin Abi Thalib wafat sebagai syahid
pada hari Jum'at tanggal 17 Ramadhan tahun 40 Hijriyah ketika sedang
melaksanakan sholat Subuh.
Sejarah Hidup Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
Oleh H.M.H. Al Hamid Al Husaini
( Dikutip dari Al-Kisah; No.10/Tahun III/9-22 Mei 2005 dan buku
Ajarilah Anakmu Mencintai Keluarga Nabi SAW; Muhammad Abduh Yamani )